Sing sabar ae. Rejeki nggak datang hari ini tapi insya Allah akan datang besok," kata Ibuk sambil mengunci lemari makan di dapur.
Iwan SetyawanSing sabar sik. Sing sabar," kata Ibuk menghibur Bapak.
Iwan SetyawanKeduanya tak tahu bagaimana memulai pembicaraan. Mereka bahkan tak berani menatap mata masing-masing.
Iwan SetyawanIa mulai belajar menata hidupnya, hidup suaminya. Hidup anak-anaknya kelak. Hidup keluarganya kelak.
Iwan SetyawanDi kaki Gunung Panderman mereka berlayar mengarungi kehidupan dengan berani. Dengan layar kejujuran yang kokoh, dengan cinta yang tulus.
Iwan SetyawanKetika Ibuk menikah, ia dan Bapak hanya berbekal keberanian untuk menjalani hidup bersama. Mereka tidak memiliki perencanaan bagaimana membesarkan anak, di mana mereka akan tidur kelak, apalagi tentang gizi atau pendidikan. Sama sekali tidak terbersit di benak mereka.
Iwan SetyawanDapur ini penuh dengan jelaga. Hidup ini mungkin akan penuh jelaga juga. Tapi anak-anakkulah yang akan memberi warna terang dalam hidupku. Ini hartaku. Dan kini saatnya, semua yang telah keluar dari rahimku bisa hidup bahagia. Tanpa jelaga, lanjutnya.
Iwan SetyawanSebuah momen sederhana, momen masa kecil yang menggetarkan. Sebuah percik kehidupan yang akan menjadi kenangan. Kenangan yang bisa menyelamatkan Bayek dan saudara-saudaranya kelak dalam hidup selanjutnya. Sebuah kebersamaan yang akan mengikat mereka, ke mana pun mereka pergi. Hangat matahari pagi itu akan menemani hidup mereka. Selamanya.
Iwan SetyawanTak terucap terima kasih tapi wajahnya penuh syukur.
Iwan SetyawanAku ingin anak-anakku sama dengan anak-anak lain! tekad Ibuk.
Iwan Setyawan« first previous
Page 6 of 11.
next last »
Data privacy
Imprint
Contact
Diese Website verwendet Cookies, um Ihnen die bestmögliche Funktionalität bieten zu können.